Sabtu, November 20, 2021

1# Mimpi Buruk Keluarga Aslan

 

          Hari itu terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya. Kabut tebal selalu menyelimuti seluruh permukaan bukit Bruma. Butiran-butiran air pembentuknya telah mengotori udara saat benang langit pagi mulai terbentuk. Bermain di udara bersama angin yang sesekali bertiup sangat pelan dan menyamarkan bentuk semua benda, baik yang hidup maupun yang mati.

Terdapat sebuah desa terpencil terletak persis di lereng bukit. Tidak banyak penduduk dari luar bukit yang mengetahui tentang keberadaannya. Kabut seolah-olah telah menciptakan sebuah benteng kelabu, menghilangkan eksistensi desa dari sebagian besar ingatan orang-orang. Jika beruntung, pada hari cerah dimana pembiasan sinar matahari tepat mengenai kaki bukit, akan terlihat warna cokelat kemerahan pada pucuk atap-atap rumah yang berpendar dengan warna dari barisan pepohonan jati. Tapi fenomena langka tersebut hanya terjadi lima kali dalam satu bulan dan hanya beberapa menit.

Di antara rumah-rumah yang tampak tersebar –jika diamati dengan teliti di sisi bukit bagian utara pada hari cerah, akan terlihat sebuah rumah kecil dengan warna atap yang hampir menyerupai rupa bebatuan tebing. Rumah tersebut adalah rumah milik keluarga Aslan. Menyisakan bagian pintu dan jendela beserta kusennya, seluruh dinding rumah diwarnai oleh dedaunan sirih merah yang mengkilap. Benar-benar sebuah kamuflase sempurna bagi sebuah tempat tinggal yang berdampingan dengan pepohonan. Jarak sekitar tiga ratus meter dari rumah tersebut terdapat runtuhan bebatuan menutupi mulut terowongan tua yang konon ratusan tahun lalu pernah dipakai untuk menghubungkan desa dengan lokasi tambang.

Tidak banyak penduduk Desa Bruma yang mengetahui tentang keberadaan keluarga Aslan. Selain karena jarak satu rumah dengan rumah lainnya sejauh setengah kilometer, letak rumah yang berada di ujung desa membuatnya jarang dilewati orang meskipun untuk sekadar berjalan-jalan. Bentuk rumah yang terlihat seperti semak-semak tinggi serta tebalnya kabut membuat beberapa orang menganggapnya sebagai bagian dari belukar hutan. Kecuali Bibi Sami –satu-satunya penduduk desa yang cukup mengenal mereka— yang tinggal di sebuah rumah kayu berjarak sekitar dua ratus meter.

Masih dengan pagi yang berkabut. Sekelebat siluet samar bergerak lamban di jalanan lengang dan berpagar pepohonan jati. Semakin lama semakin jelas saat mendekati rumah keluarga Aslan. Menampakkan setiap lekak-lekuk darinya setelah menerobos kabut di udara, hingga menjelma menjadi seorang gadis kecil yang mengenakan baju terusan berwarna abu-abu sebetis. Bagian luarnya dilapisi jaket rajut berwarna biru lusuh untuk menghalangi udara dingin yang menusuk kulit.

Gadis kecil tersebut bernama Sera, putri dari Sagara Aslan, berumur 13 tahun dan memiliki keunikan fisik yang jarang ditemui. Ia memiliki rambut panjang berwarna merah gelap seperti bunga kosmos cokelat. Warna mata hazelnya yang indah terbalut dengan kelopak mata lebar dan berpadu dengan bentuk hidung yang lurus-runcing. Jemari di tangan kanannya terlihat pucat saat beradu warna dengan buku bersampul yang dibawa.

Sera sangat menyukai buku-buku. Kecintaannya terhadap buku memunculkan kebiasaan buruk yang membuatnya tidak peduli dengan keadaan sekeliling. Ia sanggup menghabiskan waktu berhari-hari di ruang baca dan menghabiskan lebih dari lima buku tebal. Dan saat berjalan seperti ini, ia tidak akan pernah menyadari keberadaannya dan sudah berapa lama menyusuri jalanan lengang. Mata hazelnya masih terfokus pada halaman buku berwarna kuning pudar, tanpa mengindahkan pagar besi berkarat setinggi satu meter di depan rumah.

“Kalau tidak memperhatikan sekitar, bisa-bisa kau akan terus berjalan hingga ke mulut terowongan.”

Sebuah suara membuat gadis berambut merah tersebut mengangkat wajah, dan sejenak membuatnya bingung. Dari balik pagar ia melihat seorang pemuda berwajah lusuh oleh beberapa polesan lumpur yang telah mengering. Kedua tangannya terlipat di dada seraya menatap lurus ke arahnya.

“Lagi-lagi membaca buku sambil berjalan,” imbuh pemuda tersebut dengan nada datar. “Kebiasaanmu itu bisa membahayakanmu suatu saat nanti.”

Sera menutup buku yang dibacanya tadi lantas menundukkan sedikit kepalanya. “Ehm, maaf kak...,” sahutnya pelan sambil menyibakkan beberapa helai rambut merah ke belakang daun telinga.

Pemuda itu masih menatap lurus tanpa mengatakan sepatah kata, namun tak lama setelah itu ia mendenguskan nafas panjang dari mulut. Sera yang sedari tadi menunduk langsung menggerakkan bola matanya ke atas, berusaha mengintip keadaan dari balik poni.

“Huft, meskipun ku nasehati berulang-kali sepertinya percuma,” keluhnya sambil menyangga dahi dengan jari-jarinya yang kotor.

Pemuda tersebut bernama Aditya, anak sulung keluarga Aslan yang lahir dua tahun sebelum Sera. Berbeda dengan sang adik yang memiliki bagian tubuh ‘langka’, Aditya tampak seperti pemuda seusianya. Tubuhnya terbilang tidak terlalu tinggi untuk ukuran remaja laki-laki, sekitar 160 cm dan sedikit berisi. Memiliki kulit berwarna sawo matang, rambut hitam lurus yang hampir menutupi kedua daun telinga serta hidung mancung dan membulat di bagian bawah. Kedua selaput kelopak yang sayu membungkus bola mata dengan warna iris cokelat kehitaman.

Berbeda dengan Sera, Aditya justru menyukai tumbuhan, terlebih bunga. Halaman belakang rumah Aslan adalah daerah kekuasaannya. Jika tidak terhalang oleh rumah beserta tumbuhan sirih merah yang berkerumun –juga semak-semak tinggi diantara pepohonan jati– warna-warni bunga akan terlihat dengan jelas. Dari mulut jalan setapak hingga halaman belakang akan disambut barisan petak sepanjang tiga meter yang berisi bermacam-macam bunga, mulai dari Aster ungu, Zinnia, Freesia dengan berbagai warna, hingga Mawar merah yang tumbuh renggang memagari halaman belakang. Aditya terbilang cukup sering menghabiskan waktu senggangnya untuk mempercantik makhluk tersebut.

Sebagai hukuman karena sudah melanggar nasehatku, kau harus menyiapkan sarapan sekarang!” perintah Aditya lalu berbalik.

Sera mengangkat kepalanya disertai senyuman lebar menghiasi wajah. “Tidak masalah. Aku sudah mendapatkannya dari Bibi Sami,” sahutnya senang sambil menunjukkan rantang tingkat berwarna perak. “Oh iya, sekalian panggil ayah juga ya,” imbuhnya seraya melewati Aditya dengan langkah kaki yang cepat menuju pintu rumah.

 “Tunggu, ayah tidak bersamamu?” tanya Aditya heran.

Sera terhenti sesaat lantas membalikkan badannya dengan dahi yang berkerut. “Bukannya di kebun bersama kakak?sahutnya kembali.

Pemuda itu menggelengkan kepala. Seolah tidak percaya, gadis kecil tersebut menuju jalan setapak di samping rumah yang menghubungkan ke halaman belakang. Sesaat ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kebun yang masih tersamarkan kabut, berharap menemukan sosok yang dicari.

“Kau pikir aku membohongimu?” tanya Aditya yang telah berdiri di belakangnya, mengikuti. “Aku sudah berada di sini sendirian saat fajar. Sebelumnya aku ingin membangunkan ayah, tapi kamarnya kosong. Ku pikir dia berjalan-jalan bersamamu,” jelasnya sambil membersihkan beberapa butir tanah yang menempel di punggung tangan.

Sera terdiam sesaat menatap hamparan bunga dengan warna pudar terbalut kabut. “Aku memang ingin mengajaknya tadi. Tapi sewaktu menengok ke kamar, aku hanya melihat beberapa tumpukan buku di lantai,” ceritanya sambil mengingat-ingat kembali.

Aditya mulai bergumam dengan suara seperti tengah menguyah sesuatu dalam mulutnya, memandang jauh ke arah ujung kebun. “Hm, kalau begitu, ayah dim—”

“Aditya! Sera!”

Teriakan keras membuat kedua anak Aslan tersentak. Segera mereka melangkah cepat menuju halaman depan dan mendapati sosok wanita pendek berambut ikal yang hampir tenggelam di antara kabut. Kedua anak Aslan membelalakkan mata saat menyadari kalau sosok tersebut adalah Bibi Sami.

“Bibi Sami?” ucap Sera heran melihat sosok yang ditemuinya beberapa saat lalu, kini telah berdiri di hadapannya lagi. Bunyi deritan engsel berkarat mulai terdengar saat Aditya membukaan pintu pagar besi sambil memandangi wanita tersebut dengan dahi berkerut.

“Cepat ke sungai Reka sekarang! A-ayah kalian k-kecelakaan!” ucapnya terbata.

 

******

Episode 2

Terkubur Dalam Sungai

>>>>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir di blog kami ✨❤️

Traktir Yuk Biar Tambah Semangat

Audisi Audio Drama "A WISH BEFORE WEDDING"

  Halo semua. Apa Kabar? Audio Drama ID sedang membutuhkan Pengisi Suara untuk Proyek Audio Drama yang berjudul “A Wish Before Wedding” Bagi...